Wednesday, October 31, 2012

MAK YATI


Siapa yang tidak mengenal Mak Yati ? sejak hari raya idul adha kemarin namanya terus disebut di layar kaca. Ya, wanita tua asal pasuruhan yang merantau di ibukota sebagai seorang pengorek sisa-sisa kehidupan di jalan-jalan ibu kota ini beberapa waktu lalu melakukan hal yang mungkin akan sulit dipercaya bagi manusia di tengah-tengah krisis moneter di bangsa ini. Ia tidak melakukan yang bisa dilakukan para bos besar di negeri ini, iya melakukan hal yang seharusnya menjadi kewajiban para bos besar di negeri ini.
Wanita tua ini melakukan kurban berupa 2 kambing di masjid sekitar gubuknya di ibu kota. Lalu bagaimana wanita tua yang serba kekurangan ini bisa berbagi dengan yang sama-sama kekurangan ... saya hanya berfikir, andai saja ada 1000 orang yang memiliki jiwa seperti Mak Yati, mungkin Indonesia tidak menjadi negara dengan lautan pengemis.
“Ya saya cuman kepengen berbagi saja ... Saya selalu mendapat zakat ... Saya hanya ingin juga berbagi tidak hanya menerima ...” begitulah tutur wanita tua ini. Betapa tidak ? ketika ia sedang kesusahan ia masih memiliki keinginan untuk berbagi dan tidak hanya menengadahkan tangannya untuk menerima. Sungguh mulia !
Bahkan saya berpendapat tanggapan pengurus kurban di masjid yang menerima saja sedikit melecehkan, seperti halnya kurban tersebut bukan dari Mak Yati tapi hanya titipan semata. Wallahua’lam. Kita tidak sepatutnya berburuk sangka. Wanita yang rambutnya sudah memutih ini mengaku ia mengumpulkan modal untuk berkurban sejak 3 tahun lalu. Ia hidup dari berhutang makan, kopi, dan kebutuhan lain yang kemudian akan ia bayar setelah rongsokan yang ia cari terjual. Kemudia uang sisa dari membayar hutang yang jumlahnya mungkin hanya Rp. 1500,00 sampai Rp. 2500,00 dikumpulkan dan ditukarkan dengan emas di pasar walau beratnya hanya setengah gram. 3 tahun ini, emas yang ia kumpulkan sudah mencapai 10 gram dan niatnya dibulatkan untuk menukarkan dengan 2 ekor kambing.
Tindakan Mak Yati ini menggugah menteri sosial negara kita. Mentri sosial memberikan uang tunai sebesar Rp. 5.000.000,00 dan 1 unit rumah akan dibangunkan untuk Mak Yati di Pasuruan. Namun Mak Yati menolak tawaran tersebut karena di Pasuruan Mak Yati tidak memiliki saudara lagi.

INDONESIAKU MALANG, INDONESIAKU MENANGIS



Indonesiaku malang, Indonesiaku menangis. Saya hanya menonton satu sesi salah satu acara berita di sebuah stasiun televisi. Tetapi rasanya bergidik menyimak rentetan berita yang sangat memprihatinkan. Dimulai dari penculikan bayi yang terus marak, tawuran pelajar, tawuran antar warga, aksi mahasiswa, hingga beras miskin yang tidak layak dikonsumsi. Betapa tidak menangis bumi pertiwi kami ? melihat kini, kenyataan yang pahit semakin bergelimpangan. Entah apakah saya yang terlalu subjektif menyaksikan berita-berita yang memilukan, ataupun pemburu berita yang nampaknya lebih cenderung ke berita yang menohok dan mencoreng nama negeri ini, namun itu tetaplah fakta yang tidak bisa dipungkiri. Berita-berita tadi bukanlah berita yang asing di telinga kita semua. Berita tersebut sudah acap kali kita lihat dan kita dengar, namun demikian tidak menjadi koreksi dari semua pihak terkait, yang ada semuanya semakin marak dan seolah-olah menjadi trend baru di bangsa ini. Khususnya tawuran. Tawuran antar pelajar yang sudah membuahkan hasil, ya. Beberapa penerus bangsa ini kini telah tinggal nama hanya sebagai korban tawuran, memilukan. Masih tentang tawuran, bukan hanya ABG ABG yang notabennya mungkin masih labil, namun orang-orang dewasa yang seharusnya sudah matang juga ikut andil dalam menaikan rating tawuran di negeri ini. Bagaimana tidak ? tawuran antar warga, tawuran antar desa terus bergelimpangan di beberapa daerah di nusantara. Dimana para tetua-tetua desa ini yang dulu kala selalu menjadi kontrol para pemuda ? apakah sudah tiada dan tak ada penerusnya ? berbagai alasan terus dikemukakan, dari pelecehan seksual sampai sakit hati atau sebagainya. Saya sedikit aneh dengan semua ini, apabila memang ada warga yang bersalah dan melanggar hukum, maka sudah ada penegak hukum di negara ini. Ya, kecuali negara ini sudah berubah bentuk menjadi negara rimba yang semua harus diselesaikan dengan kekerasan, UUD 1945 dan pancasila sendiri sudah tidak ada harganya. Aparat hukum kini sudah tidak ada wibawa dan kehormatannya. Beberapa cuplikan menggambarkan adegan saling tendang antar aparat dan warga. Benar-benar seperti jaman perang di tengah-tengah negara yang sudah merdeka. Kita tak seharusnya berjuang dengan kekerasan lagi seperti saat perang, tetapi kita harus berjuang dengan otak dan pikiran untuk pembangunan dan kemajuan Indonesia. Nampaknya itu terlalu teoritis melihat keadaan yang ada. Siapa yang harus dipersalahkan ? ketika aparat penegak hukum tidak lagi ditakuti dan dihormati, beberapa kasus yang menyandung POLRI memang sedikit mencoreng nama baik POLRI di tengah masyarakat. Karena masyarakat merupakan objek yang dinamis, seharusnya POLRI lebih berhati-hati dalam bertindak, sehingga tidak menjatuhkan kehormatan dan wibawanya sendiri sebagai penegak hukum. Lalu apakah ini salah masyarakat ? permasalahan di negara ini terlalu kompleks, perilaku masyarakat yang demikian bisa saja dipicu karena tingkat pendidikan yang rendah. Lalu salahkah negara ini jika pendidikan mahal ? sedangkan dirasa subsidi untuk pendidikan telah dikucurkan sedemikian rupa, namun masih saja tak merangkul seluruh elemen di negara ini untuk bersekolah. Bagaiamana ? inilah tugas kita semua untuk mencari pemecahan dan jalan keluarnya. Terlebih lagi tawuran yang berlangsung terus berulang dan menyisakan kenangan berupa korban tewas yang mungkin tidak bersalah apa-apa. Lalu bagaimana tindakan kongkrit pemerintah ? mungkin Undang-undang Keamanan Nasional menjadi jawabannya. Jujur, saya sendiri belum paham benar seperti apa undang-undang ini. Tetapi jika memang ini solusi dari pemerintah tak ada salahnya untuk diterapkan. Apa masalahnya ? mahasiswa, beberapa kelompok mahasiswa melakukan aksi demonstrasi terkait UU ini. Jelas saja para mahasiswa ini menolak. Semua berseru, “INDONESIA INI NEGARA DEMOKRASI, KALO ADA UNDANG-UNDANG ITU SAMA AJA INDONESIA BALIK KE ORDE BARU.” Begitulah ... pertanyaan besar yang ada di kepala saya adalah, “LALU ADAKAH SOLUSI LAIN HAI PARA MAHASISWA ?????” saya juga seorang mahasiswa, tetapi saya tidak demikian idealis dengan kata ‘orde lama’, ‘orde baru’, dan reformasi. Saya lebih memandang ke kenyataan yang terus bergulir di negara ini. Bisakah para mahasiswa menjamin aman negara ini tanpa adanya undang-undang tegas dan perilaku yang tegas. Karena perilaku keras juga harus dibayar keras jika memang sudah tidak memungkinkan. Sedangkan para penegak hukum yang dibekali kemampuan dan persenjataan saja realistisnya belum bisa mengatasi. Bahkan kasus penembakan aparat terus marak. Punya apa mahasiswa ? sekolah masih disubsidi rakyat, pemulung yang subsidi kita. Lalu harus kita terus mencari masalah ? terkadang malah menjadi penghalang. Seharusnya kekritisan mahasiswa ini tidak lagi hanya berwujud gemboran-gemboran protes dan mengkritisi sebuah kekurangan. Tetapi solusi yang membangun dan kongkrit dapat mengisi ketidaksetujuan mereka dengan program pemerintah. Begitulah makna sebenarnya bahwa mahasiswa adalah agen perubahan. Lalu orde baru, saya tidak bisa memastikan apakah ini benar atau hanya selentingan semata, dulu pada saat orde baru memang masyarakat tidak diperkenankan melakukan demonstrasi, apabila ada salah satu pembuat ricuh, maka para sniper di negara ini siap menembak mati para provokator tersebut. Tapi yang sedikit menggelitik hati adalah, ada seseorang yang pernah berbagi cerita pada saya bahwa di mayat tersebut akan ada note dan uang yang berisi bagi siapapun yang menemukan harap menguburkan mayat ini dengan layak. Kini reformasi telah tercetuskan dan negara yang sebenarnya belum siap untuk berdemokrasi ini menjadi negara demokrasi. Lalu dimana pencetus reformasi itu ? hanya kompor di tahun 1996 ? yang kini sudah tidak ada panas-pananya ? atau kita semua sudah lupa siapa dia ? atau pemburu berita yang kurang memberitakan kiprahnya ? entahlah. Tetapi Indonesia sebenarnya tidak sepenuhnya menjadi negara demokrasi. Masih banyak sisi gelap negara ini yang menunjukan negara ini liberal dan lain sebagainya. Dunia memiliki banyak bentuk negara, semuanya memiliki kekurangan dan kelebihan. Negara-negara menggunakan bentuk negara dan bentuk pemerintah sesuai dengan tindak rakyatnya dan bagaimana cara memajukan negara tersebut. Lalu ketika negara kita begitu bobrok dengan demokrasi, haruskah demokrasi ini tetap dipaksakan di negara ini ? tugas kita semua untuk mengkaji dan menemukan jawaban terbaik. Saya lebih tertarik ketika hukum sudah tidak ditakuti, memang untuk beberapa waktu hukum perlu mengembalikan keperkasaannya, para provokator harus dibrantas habis sepertihalnya para koruptor ! sudah saatnya hukum tidak pandang bulu dan tidak mudah dibeli dengan kertas bernilai. Bagaimana menurut kalian ? haruskah kebobrokan negara ini berlarut-larut ? harus berapa lagi yang tewas menjadi kenangan ? harus sampai kapan demokrasi setengah hati ini dipertahankan ? terkadang pilihan tegas dan menajemen mengambil resiko harus direalisasikan dan tidak hanya menjadi seonggok teori belaka.

Monday, October 8, 2012

ANYELIR



Pagi menggulung malam yang pekat gempita. Matahari masih mengintip manja dalam belaian fajar. Semilir segar angin pagi menembus jelaga malam sebelum kota ini terbalut asap manusia dan segala penat yang menantinya. Sedangkan mendung tetap setia mencumbu mentari yang manja. Yah, sudah sebulan ini kota tak lepas dari rinai hujan. Setidaknya aku salah satu menyuka bau tanah basah, sayang sekali sudah tak banyak tanah di kota ini, semua tertutup pekatnya aspal atau cor semen. Aku masih duduk menyandarkan kepalaku pada silangan lengan di etalase jendela sederhana. Pagi ini aku sama sekali tak bernafsu untuk kembali ke kantor. Rasanya aku ingin berbalut tidur yang panjang agar segalanya enyah dari kepalaku.
Anyelir, hidup ini bukanlah panggung sandiwara yang kau tata. Anyelir, dunia ini bukanlah suatu pertunjukan yang bisa kau sutradarai seenaknya. Dunia ini juga bukan seruangan berisi manusia yang bisa kau gurui sekenannya. Yah begitulah kira-kira aku mengatai diriku sendiri jika memang aku terlalu munafik ingin seperti ini. Tak sedikit dari mereka menyebutku seorang “nona Idealis” yang kerap berusaha membuat skenario dari kehidupan, bahkan seseorang pernah menyarankanku untuk melamar menjadi Tuhan. Jika menjadi Tuhan adalah sebuah pekerjaan. Adakah yang ingin mengatur orang di seluruh dunia ini ? adakah manusia yang ingin mengingat segala dosa dan kebaikan dari seluruh orang di dunia ini ? dan apakah ada yang dengan kekuasaannya memaafkan umat yang berkali-kali membuat dosa ? tentunya tak akan ada manusia yang bisa karena itu hanya Allah SWT satu, amin.
Aku benci dibohongi. Entah mengapa. Tapi aku sering berbohong. Entah mengapa pula. Hidup ini memang seperti roda yang berputar. Segala yang terjadi di kehidupan ini merupakan siklus yang pasti dan rata akan terjadi. Karma adalah suatu hal yang sulit ditangkap logika namun sering kali terbukti adanya. Sebenaranya itu hanyalah sebagian kecil dari kekuasaan Tuhan yang menyatakan bahwa Tuhan adil pada umatNya. Jadi yang terjadi untukku saat ini adalah sebagian dari keadilan itu ?
Patricia Anyelir Binggar. Siapa yang tak mengenal nama itu ? aku memang pribadi yang sedikit arogan. Setidaknya seluruh lapisan atmosfer di kantorku yang memiliki 6 lantai ini semuanya mengenalku. Anye yang selalu menjadi best employee of the years. Selama 3 tahun berturut-turut. Ya, baru 2 tahun aku menjajaki dunia kerja dan aku menjadi seorang Editor yang dapat ‘diandalkan’ yang selalu memunculkan ide-ide baru di setiap meeting yang diselenggarakan, yang selalu mempresentasikan sesuatu dengan memukau, dan yang muda akif cantik dan ... terlalu mudah bergaul, begitu terbuka dan lepas. Itulah sisi entah negatif atau positif dari diriku. Tentunya setiap orang senang dengan seseorang yang sesupel diriku, tapi tidak demikian untuk pasanganku.
Langit. Aku sudah bersamanya kira-kira selama 5 tahun terakhir ini. Aku mencintainya. Tentu saja aku tak sekedar menyayanginya tapi juga mencintainya. Tak mungkin aku dapat bertahan selama ini bila rasa cintapun sudah tak ada. Tetapi menjalin hubungan tidaklah semudah membalik telapak tangan. Aku dan langit bukan tak lagi pernah mengalami permasalahan namun sering bahkan langganan memiliki permasalahan. Apalagi semenjak aku kerja dan kita tidak sekantor tentunya. Semua terasa bertambah berat. Kepercayaan memang sesuatu yang mudah diucapkan namun cukup sulit untuk dipercaya. Entah aku, entah Langit. Kami sama-sama memiliki  ketakutan yang sama besarnya. Ketakutan itu sering kali membuat satu sama lain gemar menuduh dan tentu saja itu semua hanya akan bermuara pada sebuah pertengkaran kecil yang terasa menyenangkan.
Jossa. Sama dengan Langit, ia rekan seangkatanku saat kuliah dulu. Bedanya disini, Langit sangat membencinya. Suatu alasan yang mungkin sulit ku pahami sebagai wanita. Tapi aku tetap berusaha memahaminya sesuai dengan kemampuanku. Tetapi masalahnya disini Jossa juga seseorang yang baik terhadapku. Entah bagaimana kebaikan itu sebenarnya hanya saja dia adalah orang yang dulu sempat mengulurkan tangannya ketika aku terjatuh. Walaupun demikian, aku ataupun dia tak pernah menganggap ini sesuatu yang lebih, ini hanya sekedar pertemanan biasa bahkan kami sama-sama mengungkapkan bahwasannya kami sama-sama memiliki orang yang terkasih dan itu bukan salah satu dari kami. Namun Langitku akan tetap menjadi Langitku. Ia sama sekali tak suka aku bergaul dengannya. Sering kali aku berusaha untuk menuruti kemauan Langit bahkan sampai berjanji kepadanya. Namun semua itu sama seringnya dengan frekuensi aku gagal dan mengingkari janjiku sendiri. Sebenarnya aku sangat membenci tindakanku yang seperti ini namun semuanya tak semudah yang dibayangkan ketika kita dihadapkan pada 2 orang yang sama-sama berarti, tidak sama, jelas sekali aku mencintai Langit, tapi Jossa, aku berhutang budi padanya dan budi sulit dibayar. Konyolnya lagi aku bukan seseorang yang tega untuk menolak seseorang yang meminta bantuan. Keadaan ini semakin keruh ketika Jossa bekerja di kantor yang sama denganku hanya saja departemen kita berbeda, namun ia sering meminta bantuan mengenai urusan kantor.
Aku menghindarinya sekuat tenaga demi Langitku. Tapi kurasa Tuhan tak rela jika semua ini terlalu mudah. Semakin aku menghindarinya kurasa api pertengkaran dengan Langit semakin muncul dan siap membesar dan membakar bahtera kami. Sejak kuliah sampai dengan kerja sudah tak terhitung lagi berapa kali kami berselisih paham hanya karena Jossa. Aku juga yang bersalah. Entah mengapa aku begitu takut untuk sekedar jujur bahwa Jossa meminta bantuanku. Tapi apa bedanya jika Langit adalah orang yang sangat perasa dan dia akan mengetahui dusta yang ku perbuat ? semua itu hanya akan semakin keruh. Aku semakin tak mengerti bagaimana jalan pikiranku dan bagaimana aku bisa terbebas dari masalah seperti ini karena aku sudah cukup bosan dengan semua ini.
Puncaknya adalah sepekan kemarin. Selama aku kuliah sampai aku kerja dan semenjak Langit melarangku untuk dekat dengan Jossa walaupun hanya berteman, aku memang sudah menghindarinya dan mengurangi kemungkinan keretakkan hubunganku dengan Langit. Tetapi lagi-lagi semua itu tak semudah membalik telapak tangan. Malam itu tergesa sekali Jossa datang ke rumahku untuk meminta sebuah data untuk presentasi kantor keesokan harinya, malam itu tengah malam seusai Langit mengantarkanku pulang. Aku juga tak mengerti mengapa ia harus memintanya padaku sedangkan aku yakin rekan kerja yang lain juga memilikinya. Entahlah. Aku sempat ingin memberi tahu Langit tentang maksudnya, tapi ketakutan itu mencekik langkahku, serasa setan yang berbisik untuk memaksaku berdusta karena tanpa berdusta jelas Langit tak akan mengijinkannya sedangkan Jossa terus memohon. Aku tak tega tapi kadang aku terlalu tega tanpa ku sadari. Ya kingkritnya, aku tak tega menolah permohonan Jossa tapi aku begitu tega membohongi Langitku yang sangat ku cintai. Semua ini terasa mulai tidak masuk akal. Lagi-lagi aku tak mengerti apa yang ada di otakku saat itu. Semuanya memang benar, aku  bukan cleaning service yang rajin bersih-bersih termasuk membersihkan pesan masuk di ponselku. Keesokan harinya seperti biasa Langit menemaniku makan siang, dan ponselku. Ya, dia membacanya. Semuanya. Ditamparpun mungkin aku akan diam. Karena semua ini salahku. Ia begitu murka. Bahkan di meja itu juga ia memutuskan hubungan kita. Aku sama sekali tak menangis. Hanya saja aku ingin menjatuhkan diriku ke dalam samudra terdalam. Sesak dipenuhi rasa bersalah. Tak pernah Langit seperti ini, apakah dia sudah cukup muak denganku ? mungkin. Aku tak pernah mendengar ia ingin memutuskan hubungan kami. tapi kali ini aku yakin ia tidak sedang menggertakku. 5 tahun aku bersamanya baru kemarin ia membentakku. Aku hanya diam. Menangis walaupun aku sadar tangisanku hanya akan mempermalukan diriku sendiri. Aku tahu, Langit hanya akan menganggap tangisan itu sebagai air mata buaya. Tetapi rasanya benar-benar sakit. Aku tak ingin kehilangannya ... Ya, ia memelukku dengan sabar dan menarik kata-katanya untuk berpisah. Aku semakin terisak. Rasanya aku orang paling berdosa, apa aku ini selalu menyakiti hatinya ... orang yang sangat mencintaiku. Bahkan yang memilih mati apabila sampai aku melakukan kesalahan ini lagi. Tak ada yang ingin aku katakan selain aku berusaha untuk membenahi semua ini meskipun terlambat. Aku mencintai Langit dan akan kulepas segalanya demi mempertahankan dia. Karena cinta bukan sekedar dusta.
-to be continued-