Monday, October 8, 2012

ANYELIR



Pagi menggulung malam yang pekat gempita. Matahari masih mengintip manja dalam belaian fajar. Semilir segar angin pagi menembus jelaga malam sebelum kota ini terbalut asap manusia dan segala penat yang menantinya. Sedangkan mendung tetap setia mencumbu mentari yang manja. Yah, sudah sebulan ini kota tak lepas dari rinai hujan. Setidaknya aku salah satu menyuka bau tanah basah, sayang sekali sudah tak banyak tanah di kota ini, semua tertutup pekatnya aspal atau cor semen. Aku masih duduk menyandarkan kepalaku pada silangan lengan di etalase jendela sederhana. Pagi ini aku sama sekali tak bernafsu untuk kembali ke kantor. Rasanya aku ingin berbalut tidur yang panjang agar segalanya enyah dari kepalaku.
Anyelir, hidup ini bukanlah panggung sandiwara yang kau tata. Anyelir, dunia ini bukanlah suatu pertunjukan yang bisa kau sutradarai seenaknya. Dunia ini juga bukan seruangan berisi manusia yang bisa kau gurui sekenannya. Yah begitulah kira-kira aku mengatai diriku sendiri jika memang aku terlalu munafik ingin seperti ini. Tak sedikit dari mereka menyebutku seorang “nona Idealis” yang kerap berusaha membuat skenario dari kehidupan, bahkan seseorang pernah menyarankanku untuk melamar menjadi Tuhan. Jika menjadi Tuhan adalah sebuah pekerjaan. Adakah yang ingin mengatur orang di seluruh dunia ini ? adakah manusia yang ingin mengingat segala dosa dan kebaikan dari seluruh orang di dunia ini ? dan apakah ada yang dengan kekuasaannya memaafkan umat yang berkali-kali membuat dosa ? tentunya tak akan ada manusia yang bisa karena itu hanya Allah SWT satu, amin.
Aku benci dibohongi. Entah mengapa. Tapi aku sering berbohong. Entah mengapa pula. Hidup ini memang seperti roda yang berputar. Segala yang terjadi di kehidupan ini merupakan siklus yang pasti dan rata akan terjadi. Karma adalah suatu hal yang sulit ditangkap logika namun sering kali terbukti adanya. Sebenaranya itu hanyalah sebagian kecil dari kekuasaan Tuhan yang menyatakan bahwa Tuhan adil pada umatNya. Jadi yang terjadi untukku saat ini adalah sebagian dari keadilan itu ?
Patricia Anyelir Binggar. Siapa yang tak mengenal nama itu ? aku memang pribadi yang sedikit arogan. Setidaknya seluruh lapisan atmosfer di kantorku yang memiliki 6 lantai ini semuanya mengenalku. Anye yang selalu menjadi best employee of the years. Selama 3 tahun berturut-turut. Ya, baru 2 tahun aku menjajaki dunia kerja dan aku menjadi seorang Editor yang dapat ‘diandalkan’ yang selalu memunculkan ide-ide baru di setiap meeting yang diselenggarakan, yang selalu mempresentasikan sesuatu dengan memukau, dan yang muda akif cantik dan ... terlalu mudah bergaul, begitu terbuka dan lepas. Itulah sisi entah negatif atau positif dari diriku. Tentunya setiap orang senang dengan seseorang yang sesupel diriku, tapi tidak demikian untuk pasanganku.
Langit. Aku sudah bersamanya kira-kira selama 5 tahun terakhir ini. Aku mencintainya. Tentu saja aku tak sekedar menyayanginya tapi juga mencintainya. Tak mungkin aku dapat bertahan selama ini bila rasa cintapun sudah tak ada. Tetapi menjalin hubungan tidaklah semudah membalik telapak tangan. Aku dan langit bukan tak lagi pernah mengalami permasalahan namun sering bahkan langganan memiliki permasalahan. Apalagi semenjak aku kerja dan kita tidak sekantor tentunya. Semua terasa bertambah berat. Kepercayaan memang sesuatu yang mudah diucapkan namun cukup sulit untuk dipercaya. Entah aku, entah Langit. Kami sama-sama memiliki  ketakutan yang sama besarnya. Ketakutan itu sering kali membuat satu sama lain gemar menuduh dan tentu saja itu semua hanya akan bermuara pada sebuah pertengkaran kecil yang terasa menyenangkan.
Jossa. Sama dengan Langit, ia rekan seangkatanku saat kuliah dulu. Bedanya disini, Langit sangat membencinya. Suatu alasan yang mungkin sulit ku pahami sebagai wanita. Tapi aku tetap berusaha memahaminya sesuai dengan kemampuanku. Tetapi masalahnya disini Jossa juga seseorang yang baik terhadapku. Entah bagaimana kebaikan itu sebenarnya hanya saja dia adalah orang yang dulu sempat mengulurkan tangannya ketika aku terjatuh. Walaupun demikian, aku ataupun dia tak pernah menganggap ini sesuatu yang lebih, ini hanya sekedar pertemanan biasa bahkan kami sama-sama mengungkapkan bahwasannya kami sama-sama memiliki orang yang terkasih dan itu bukan salah satu dari kami. Namun Langitku akan tetap menjadi Langitku. Ia sama sekali tak suka aku bergaul dengannya. Sering kali aku berusaha untuk menuruti kemauan Langit bahkan sampai berjanji kepadanya. Namun semua itu sama seringnya dengan frekuensi aku gagal dan mengingkari janjiku sendiri. Sebenarnya aku sangat membenci tindakanku yang seperti ini namun semuanya tak semudah yang dibayangkan ketika kita dihadapkan pada 2 orang yang sama-sama berarti, tidak sama, jelas sekali aku mencintai Langit, tapi Jossa, aku berhutang budi padanya dan budi sulit dibayar. Konyolnya lagi aku bukan seseorang yang tega untuk menolak seseorang yang meminta bantuan. Keadaan ini semakin keruh ketika Jossa bekerja di kantor yang sama denganku hanya saja departemen kita berbeda, namun ia sering meminta bantuan mengenai urusan kantor.
Aku menghindarinya sekuat tenaga demi Langitku. Tapi kurasa Tuhan tak rela jika semua ini terlalu mudah. Semakin aku menghindarinya kurasa api pertengkaran dengan Langit semakin muncul dan siap membesar dan membakar bahtera kami. Sejak kuliah sampai dengan kerja sudah tak terhitung lagi berapa kali kami berselisih paham hanya karena Jossa. Aku juga yang bersalah. Entah mengapa aku begitu takut untuk sekedar jujur bahwa Jossa meminta bantuanku. Tapi apa bedanya jika Langit adalah orang yang sangat perasa dan dia akan mengetahui dusta yang ku perbuat ? semua itu hanya akan semakin keruh. Aku semakin tak mengerti bagaimana jalan pikiranku dan bagaimana aku bisa terbebas dari masalah seperti ini karena aku sudah cukup bosan dengan semua ini.
Puncaknya adalah sepekan kemarin. Selama aku kuliah sampai aku kerja dan semenjak Langit melarangku untuk dekat dengan Jossa walaupun hanya berteman, aku memang sudah menghindarinya dan mengurangi kemungkinan keretakkan hubunganku dengan Langit. Tetapi lagi-lagi semua itu tak semudah membalik telapak tangan. Malam itu tergesa sekali Jossa datang ke rumahku untuk meminta sebuah data untuk presentasi kantor keesokan harinya, malam itu tengah malam seusai Langit mengantarkanku pulang. Aku juga tak mengerti mengapa ia harus memintanya padaku sedangkan aku yakin rekan kerja yang lain juga memilikinya. Entahlah. Aku sempat ingin memberi tahu Langit tentang maksudnya, tapi ketakutan itu mencekik langkahku, serasa setan yang berbisik untuk memaksaku berdusta karena tanpa berdusta jelas Langit tak akan mengijinkannya sedangkan Jossa terus memohon. Aku tak tega tapi kadang aku terlalu tega tanpa ku sadari. Ya kingkritnya, aku tak tega menolah permohonan Jossa tapi aku begitu tega membohongi Langitku yang sangat ku cintai. Semua ini terasa mulai tidak masuk akal. Lagi-lagi aku tak mengerti apa yang ada di otakku saat itu. Semuanya memang benar, aku  bukan cleaning service yang rajin bersih-bersih termasuk membersihkan pesan masuk di ponselku. Keesokan harinya seperti biasa Langit menemaniku makan siang, dan ponselku. Ya, dia membacanya. Semuanya. Ditamparpun mungkin aku akan diam. Karena semua ini salahku. Ia begitu murka. Bahkan di meja itu juga ia memutuskan hubungan kita. Aku sama sekali tak menangis. Hanya saja aku ingin menjatuhkan diriku ke dalam samudra terdalam. Sesak dipenuhi rasa bersalah. Tak pernah Langit seperti ini, apakah dia sudah cukup muak denganku ? mungkin. Aku tak pernah mendengar ia ingin memutuskan hubungan kami. tapi kali ini aku yakin ia tidak sedang menggertakku. 5 tahun aku bersamanya baru kemarin ia membentakku. Aku hanya diam. Menangis walaupun aku sadar tangisanku hanya akan mempermalukan diriku sendiri. Aku tahu, Langit hanya akan menganggap tangisan itu sebagai air mata buaya. Tetapi rasanya benar-benar sakit. Aku tak ingin kehilangannya ... Ya, ia memelukku dengan sabar dan menarik kata-katanya untuk berpisah. Aku semakin terisak. Rasanya aku orang paling berdosa, apa aku ini selalu menyakiti hatinya ... orang yang sangat mencintaiku. Bahkan yang memilih mati apabila sampai aku melakukan kesalahan ini lagi. Tak ada yang ingin aku katakan selain aku berusaha untuk membenahi semua ini meskipun terlambat. Aku mencintai Langit dan akan kulepas segalanya demi mempertahankan dia. Karena cinta bukan sekedar dusta.
-to be continued-

No comments:

Post a Comment