Indonesiaku
malang, Indonesiaku menangis. Saya hanya menonton satu sesi salah satu acara
berita di sebuah stasiun televisi. Tetapi rasanya bergidik menyimak rentetan
berita yang sangat memprihatinkan. Dimulai dari penculikan bayi yang terus
marak, tawuran pelajar, tawuran antar warga, aksi mahasiswa, hingga beras
miskin yang tidak layak dikonsumsi. Betapa tidak menangis bumi pertiwi kami ?
melihat kini, kenyataan yang pahit semakin bergelimpangan. Entah apakah saya
yang terlalu subjektif menyaksikan berita-berita yang memilukan, ataupun pemburu
berita yang nampaknya lebih cenderung ke berita yang menohok dan mencoreng nama
negeri ini, namun itu tetaplah fakta yang tidak bisa dipungkiri. Berita-berita
tadi bukanlah berita yang asing di telinga kita semua. Berita tersebut sudah
acap kali kita lihat dan kita dengar, namun demikian tidak menjadi koreksi dari
semua pihak terkait, yang ada semuanya semakin marak dan seolah-olah menjadi
trend baru di bangsa ini. Khususnya tawuran. Tawuran antar pelajar yang sudah
membuahkan hasil, ya. Beberapa penerus bangsa ini kini telah tinggal nama hanya
sebagai korban tawuran, memilukan. Masih tentang tawuran, bukan hanya ABG ABG
yang notabennya mungkin masih labil, namun orang-orang dewasa yang seharusnya
sudah matang juga ikut andil dalam menaikan rating tawuran di negeri ini.
Bagaimana tidak ? tawuran antar warga, tawuran antar desa terus bergelimpangan
di beberapa daerah di nusantara. Dimana para tetua-tetua desa ini yang dulu
kala selalu menjadi kontrol para pemuda ? apakah sudah tiada dan tak ada
penerusnya ? berbagai alasan terus dikemukakan, dari pelecehan seksual sampai
sakit hati atau sebagainya. Saya sedikit aneh dengan semua ini, apabila memang
ada warga yang bersalah dan melanggar hukum, maka sudah ada penegak hukum di
negara ini. Ya, kecuali negara ini sudah berubah bentuk menjadi negara rimba
yang semua harus diselesaikan dengan kekerasan, UUD 1945 dan pancasila sendiri
sudah tidak ada harganya. Aparat hukum kini sudah tidak ada wibawa dan
kehormatannya. Beberapa cuplikan menggambarkan adegan saling tendang antar
aparat dan warga. Benar-benar seperti jaman perang di tengah-tengah negara yang
sudah merdeka. Kita tak seharusnya berjuang dengan kekerasan lagi seperti saat
perang, tetapi kita harus berjuang dengan otak dan pikiran untuk pembangunan
dan kemajuan Indonesia. Nampaknya itu terlalu teoritis melihat keadaan yang
ada. Siapa yang harus dipersalahkan ? ketika aparat penegak hukum tidak lagi
ditakuti dan dihormati, beberapa kasus yang menyandung POLRI memang sedikit
mencoreng nama baik POLRI di tengah masyarakat. Karena masyarakat merupakan
objek yang dinamis, seharusnya POLRI lebih berhati-hati dalam bertindak,
sehingga tidak menjatuhkan kehormatan dan wibawanya sendiri sebagai penegak
hukum. Lalu apakah ini salah masyarakat ? permasalahan di negara ini terlalu
kompleks, perilaku masyarakat yang demikian bisa saja dipicu karena tingkat
pendidikan yang rendah. Lalu salahkah negara ini jika pendidikan mahal ?
sedangkan dirasa subsidi untuk pendidikan telah dikucurkan sedemikian rupa,
namun masih saja tak merangkul seluruh elemen di negara ini untuk bersekolah.
Bagaiamana ? inilah tugas kita semua untuk mencari pemecahan dan jalan
keluarnya. Terlebih lagi tawuran yang berlangsung terus berulang dan menyisakan
kenangan berupa korban tewas yang mungkin tidak bersalah apa-apa. Lalu
bagaimana tindakan kongkrit pemerintah ? mungkin Undang-undang Keamanan
Nasional menjadi jawabannya. Jujur, saya sendiri belum paham benar seperti apa
undang-undang ini. Tetapi jika memang ini solusi dari pemerintah tak ada
salahnya untuk diterapkan. Apa masalahnya ? mahasiswa, beberapa kelompok
mahasiswa melakukan aksi demonstrasi terkait UU ini. Jelas saja para mahasiswa
ini menolak. Semua berseru, “INDONESIA INI NEGARA DEMOKRASI, KALO ADA UNDANG-UNDANG
ITU SAMA AJA INDONESIA BALIK KE ORDE BARU.” Begitulah ... pertanyaan besar yang
ada di kepala saya adalah, “LALU ADAKAH SOLUSI LAIN HAI PARA MAHASISWA ?????”
saya juga seorang mahasiswa, tetapi saya tidak demikian idealis dengan kata
‘orde lama’, ‘orde baru’, dan reformasi. Saya lebih memandang ke kenyataan yang
terus bergulir di negara ini. Bisakah para mahasiswa menjamin aman negara ini
tanpa adanya undang-undang tegas dan perilaku yang tegas. Karena perilaku keras
juga harus dibayar keras jika memang sudah tidak memungkinkan. Sedangkan para
penegak hukum yang dibekali kemampuan dan persenjataan saja realistisnya belum
bisa mengatasi. Bahkan kasus penembakan aparat terus marak. Punya apa mahasiswa
? sekolah masih disubsidi rakyat, pemulung yang subsidi kita. Lalu harus kita
terus mencari masalah ? terkadang malah menjadi penghalang. Seharusnya
kekritisan mahasiswa ini tidak lagi hanya berwujud gemboran-gemboran protes dan
mengkritisi sebuah kekurangan. Tetapi solusi yang membangun dan kongkrit dapat
mengisi ketidaksetujuan mereka dengan program pemerintah. Begitulah makna
sebenarnya bahwa mahasiswa adalah agen perubahan. Lalu orde baru, saya tidak
bisa memastikan apakah ini benar atau hanya selentingan semata, dulu pada saat
orde baru memang masyarakat tidak diperkenankan melakukan demonstrasi, apabila
ada salah satu pembuat ricuh, maka para sniper di negara ini siap menembak mati
para provokator tersebut. Tapi yang sedikit menggelitik hati adalah, ada
seseorang yang pernah berbagi cerita pada saya bahwa di mayat tersebut akan ada
note dan uang yang berisi bagi siapapun yang menemukan harap menguburkan mayat
ini dengan layak. Kini reformasi telah tercetuskan dan negara yang sebenarnya
belum siap untuk berdemokrasi ini menjadi negara demokrasi. Lalu dimana
pencetus reformasi itu ? hanya kompor di tahun 1996 ? yang kini sudah tidak ada
panas-pananya ? atau kita semua sudah lupa siapa dia ? atau pemburu berita yang
kurang memberitakan kiprahnya ? entahlah. Tetapi Indonesia sebenarnya tidak
sepenuhnya menjadi negara demokrasi. Masih banyak sisi gelap negara ini yang
menunjukan negara ini liberal dan lain sebagainya. Dunia memiliki banyak bentuk
negara, semuanya memiliki kekurangan dan kelebihan. Negara-negara menggunakan
bentuk negara dan bentuk pemerintah sesuai dengan tindak rakyatnya dan
bagaimana cara memajukan negara tersebut. Lalu ketika negara kita begitu bobrok
dengan demokrasi, haruskah demokrasi ini tetap dipaksakan di negara ini ? tugas
kita semua untuk mengkaji dan menemukan jawaban terbaik. Saya lebih tertarik
ketika hukum sudah tidak ditakuti, memang untuk beberapa waktu hukum perlu
mengembalikan keperkasaannya, para provokator harus dibrantas habis
sepertihalnya para koruptor ! sudah saatnya hukum tidak pandang bulu dan tidak
mudah dibeli dengan kertas bernilai. Bagaimana menurut kalian ? haruskah
kebobrokan negara ini berlarut-larut ? harus berapa lagi yang tewas menjadi
kenangan ? harus sampai kapan demokrasi setengah hati ini dipertahankan ?
terkadang pilihan tegas dan menajemen mengambil resiko harus direalisasikan dan
tidak hanya menjadi seonggok teori belaka.
No comments:
Post a Comment