Harum tanah basah.
Aku demikian menyukai
keadaan itu, ketika panas menyengat penuh debu, kemudian guyuran air air ....
debu yang menggebu, berlarian berkejaran dengan kecepatan air yang akan
menimpanya. Hingga harumnya, harum hambar yang segar. Entah bagaimana cara
mendeskripsikannya dengan tepat. Karena aku tak pandai berdeskripsi, maka aku
tak cukup baik untuk mendeskripsikannya.
Seperti air yang
menghujamnya. Seperti itulah kamu. Ya, bukan kamu mungkin. Bukan juga kamu,
atau kamu, atau siapa saja yang membaca ini. Cukup bagi kalian yang merasa
telah menjadi seorang ‘kamu’ yang sangat objektif. Kamu. Kamu dan
kamu. Adalah penonton yang tak pernah menghargai dan menyikapi alur cerita
dengan seksama. Cerita ini telah disutradarai oleh orang yang handal, bahkan
diskenario sesuatu yang kekal. Baiklah, ada Tuhan dan takdir diatas
segala-galanya.
“Jangan hakimi aku.”
Sekali lagi. Aku tak
mengerti itu apa. Apakah erangan, pintaan, rintihan, permohonan, kecaman, atau
cambukan yang pantas kamu terima. Yang jelas aku mengatakan hal ini dengan
penuh kesadaran. Aku dihakimi, bukan Tuhan. Tapi kamu.
Hey. Kamu makhluk sosial.
Ya, aku sepenuhnya mengetahui aku makhluk sosial yang takkan bisa hidup tanpa
uluran tangan dari orang lain. Tapi bukan seperti ini caranya. Bukan seperti
ini. Sengaja diulang. Agar semuanya semakin jelas.
Aku bukan peminta atau
pemelas yang akan selalu terlihat rapuh dan tak bisa. Tak perlu ku ceritakan
bagian terpahit atau tersakit dalam kehidupan yang aku jalani karena ini total
milikku bukan milikmu.
Bicaralah selagi kamu bisa.
Teruslah menjadi seseorang tolol yang menjelajahi dan menjajah hidup seseorang.
Karena itu hanya akan dilakukan oleh orang-orang yang tak cukup memiliki
kesibukan di dunia ini, bahkan ia tak sempat mengingat “sempurnakah aku.”
Sungguh indah kalau kamu menilai dirimu itu sudah sempurna dan mahsum dari
dosa.
Aku sekedar menjalani semua
ini sesuai jalan yang takdir berikan. Aku berjalan, aku berlari, aku juga
pernah berhenti. Semua itu terjadi sesuai dengan apa yang telah digariskan.
Salah ?
Berusahalah memandang ini
dari 2 sudut pandang. Jadilah orang yang bijaksana dalam menilai dan
menghormati keputusan seseorang. Kalian akan begitu marah hanya karena kalian
tak tahu bagaimana rasanya.
Ketika panas menyengat,
kemudia air menghujamnya randuh ...
Itulah aku.
Aku tak suka menunggu selagi
itu adalah hal yang terbaik menurutku. Yang terbaik bagiku, belum tentu yang
terbaik untuk kalian, yang terbaik dari Tuhan belum tentu yang terbaik untukku
atau kalian. Jadi apa lagi yang harus dipertanyakan ? kita diciptakan memang
berbeda. Marilah menghormati Tuhan karena menciptakan kita berbeda.
Kita dilarang memaksakan
pikiran kita kepada orang lain. Itu teori. Yang bukan pikiran kita artinya kita
tidak bahagia. Jadi intinya jangan memaksakan kebahagiaan sendiri. Sadarkah ?
ketika kalian mengatakan itu kalian sedang mempraktekan hal yang kalian larang
untukku. Kalian memintaku untuk tidak memaksakan pikiranku, tapi kalian sedang
memaksakan pemikiran kalian terhadapku. Mana adil ?
No comments:
Post a Comment