Aku, dengan seluruh keberanianku mencoba melihat apa yang
ada di depan mataku, aku melihat barisan-barisan putih berlimpah seperti salju Desember. Begitu jelas, membuatku ingin
berlari, membuka mataku yang rapat terkatup, aku berusaha sekuat tenaga,
meskipun pada akhirnya tetap tidak membuahkan hasil apapun … mataku ini tetap
terpejam di luar kehendakku.
Suara pedih dan merana itu tetap menikam gendang telingaku. Merangrang ragaku seolah
ingin menarikku ke dalam dunia nyata, bagaikan tangan yang keras menarik
lenganku, mencengkram ragaku utuh. Namun begitu
cepat pula suara
itu mulai terdengar kabur di telingaku … perlahan meredup, terus meredup, dan
hilang … hilang tak berbekas.
Aku hanya dapat merasakan ngilu di sekujur tubuhku. Seperti ribuan jarum merajam tubuh, lalu memar
yang merata. Panas membara membakar tubuhku dalam udara yang kurasakan cukup
dingin sebelumnya. Hanya aku dan hatiku. Tak satupun yang
mengetahui bagaimana rasanya.
Masih berusaha berbicara dengan sisi lain dari hidupku, meskipun
kurasakan kian berat untuk mengambil udara dan menghembuskannya kembali,
kurasakan jantungku ini semakin lemah memompa darah. Oh tidak … setidaknya aku beruntung, aku masih bisa
berkomunikasi dengan diriku sendiri, mungkin hanya itu yang dapat ku syukuri saat ini.
Aku melihat cahaya berpendar-pendar seolah ada di depan
pelupuk mataku, cahaya yang terlihat sebagai ilusi. Namun cukup menyilaukanku,
cukup membuat mataku enggan terbuka. Cahaya yang memisahkan aku dan dia, orang
yang teramat ku cintai. Hasratku mengepung utuh.
Ingin sekali ku ulurkan tanganku, berusaha menggapainya sekuat aku bisa.
Berusaha mendapatkannya kembali, berusaha merapatkan tubuhku seperti
menit-menit yang lalu, ketika Tuhan masih mengizinkanku membuka kedua mata.
Kontras dengan detik ini, kurasakan, kuyakinkan, bahwa separuh jiwaku mati.
Aku berusaha mengingat bagaimana indahnya kunang-kunang di
malam hari ketika aku bersamanya berbaring di bukit itu. Aku berusaha
mengingat, bagaimana aku tidak sengaja mengenalnya. Membayangkan mata hitamnya
yang dalam
lurus menatapku, tatapan yang menuntut sesuatu, tatapan yang syarat akan
kebimbangan, yang sesungguhnya dulu tidak ku ketahui apa itu. Aku mengingat betapa sulit menyelami isi dari mata itu,
begitu dalam, nyaris tak berdasar. Membayangkan
ketika ia melingkarkan cincin tolol ini di jari manisku, apapun alasannya … aku
sungguh membenci terpaksa, dalam tanda kutip. Tetapi mereka meyakinkanku, bahwa
ini bukanlah sebuah hasil dari kata ‘terpaksa’. Tetapi ini adalah hasil dari
sebuah benda yang sering dipanggil ‘cinta’. indah … semua keindahan itu kini
berkelebat di depan mataku. Disamping keindahan, kepahitan itu selalu ada,
terbayang ketika malam itu … aku mengetahui segalanya terlalu cepat. Aku
mengetahui sebuah fakta yang memang harus ku ketahui. Yang membuat air mataku
berlinang. Membuatku sanggup berlari, meskipun aku akhirnya runtuh …
Tidak pernah terlintas dalam pemikiranku, aku dapat
mengingat semuanya yang pernah terjadi dalam hidupku secara jelas dan senyata
ini. Bukankah suatu bukti bahwa Tuhan begitu murah hati kepadaku ? Tuhan
mengizinkan aku sedikit mengingatnya, dia yang sangat aku cintai. Hey tunggu !!
apa yang menyebabkan aku terbaring disini ?? aku merasa banyak sekali
potongan-potongan gambar berterbangan. Ingatanku seperti diaduk-aduk. Masa
kecilku, ketika Mum memberiku teddy bear
yang seingatku masih ada di kamarku, mungkin. Atau gambar dimana aku menangis
tersedu-sedu di pemakaman umum dalam pelukan seorang wanita. Aku tidak
mengenalinya, atau barang kali aku lupa. Gambar yang begitu jelas adalah ketika
aku bersanding dengan Edo . Ia begitu jelas di
ilusiku, aku sangat mencintainya …
Beberapa saat semua itu berputar-putar mengalahkan rasa
sakit yang merata di tubuhku. Mengalahkan betapa terbakar dadaku, bahkan aku
tak tahu apakah aku bernafas atau tidak. Dan tololnya, apakah ada yang
mendengarkan pikiranku ? atau hanya sekedar aku yang tahu ?
Semuanya terdengar begitu kacau. Sebentar-sebentar aku
merasa aku ini adalah gadis putih abu-abu, lalu dalam sekejap aku merasa aku ini
adalah seorang ibu rumah tangga muda dan rapuh,
dan aku ingat di dalam perutku ada makhluk … hem … aku menutup mataku lebih
dalam. Menahan sakit yang masih saja menyiksaku. Inikah maut itu ?? yang
sesungguhnya akan mendatangi semua orang ?? aku sakit. Tiba-tiba pemikiran itu
muncul dengan gemilangnya. Tetapi sakit apa ?? bukankah selama ini Mummy
menjagaku ?? ah bukan Mummy saja, Edo dan
Arcissa.
Mummy ?? adalah wanita terhebat di dunia ini.
Lalu Arcissa ?? siapa dia ?? kenapa namanya muncul dalam
ingatanku ?? seolah-olah ia adalah bagian penting di hidupku. Lalu mengapa aku
tidak mengingatnya ?? mengingat siapa dirinya ?? ah … kenyataan ini membuat aku
semakin frustasi, ingin menjerit, tetapi rasanya tubuhku sudah cukup kesakitan.
Parahnya aku merasa aku semakin menjauh, hingga seperti berada di atas awan.
Peduli apa dengan semua itu …
Aku hanya ingin mendekapnya satu,
lalu menekankan bibirku sekali lagi ke bibir
Edo , dan mengatakan “I love You” sampai aku tidak dapat mengatakannya lagi. Sampai
suaraku tercekat, dan hawa sakit ini mencapai tenggoroanku.
Lalu aku ingin memeluk Mummy. Menangis di pelukannya yang
selalu hangat untukku. Yang selalu menguatkanku. Kurasa hanya itu yang ingin
kulakukan, ketika aku melihat bayangan mereka berpendar jauh. Dan aku merasa
menangis dan sendiri lalu aku mengatupkan kelopak mataku lebih dalam … dalam diam, aku berusaha membisikkan beberapa penggal
kata terakhirku, “Aku tak sanggup ...” dan aku mengingkarinya. Berusaha pergi
dengan selayaknya ...
. . .
No comments:
Post a Comment