Friday, September 20, 2013

prolog.


Aku, dengan seluruh keberanianku mencoba melihat apa yang ada di depan mataku, aku melihat barisan-barisan putih berlimpah seperti salju Desember. Begitu jelas, membuatku ingin berlari, membuka mataku yang rapat terkatup, aku berusaha sekuat tenaga, meskipun pada akhirnya tetap tidak membuahkan hasil apapun … mataku ini tetap terpejam di luar kehendakku.
Suara pedih dan merana itu tetap menikam gendang telingaku. Merangrang ragaku seolah ingin menarikku ke dalam dunia nyata, bagaikan tangan yang keras menarik lenganku, mencengkram ragaku utuhNamun begitu cepat pula suara itu mulai terdengar kabur di telingaku … perlahan meredup, terus meredup, dan hilang … hilang tak berbekas.
Aku hanya dapat merasakan ngilu di sekujur tubuhku. Seperti ribuan jarum merajam tubuh, lalu memar yang merata. Panas membara membakar tubuhku dalam udara yang kurasakan cukup dingin sebelumnya. Hanya aku dan hatiku. Tak satupun yang mengetahui bagaimana rasanya.
Masih berusaha berbicara dengan sisi lain dari hidupku, meskipun kurasakan kian berat untuk mengambil udara dan menghembuskannya kembali, kurasakan jantungku ini semakin lemah memompa darah. Oh tidak … setidaknya aku beruntung, aku masih bisa berkomunikasi dengan diriku sendiri, mungkin hanya itu yang dapat ku syukuri saat ini.
Aku melihat cahaya berpendar-pendar seolah ada di depan pelupuk mataku, cahaya yang terlihat sebagai ilusi. Namun cukup menyilaukanku, cukup membuat mataku enggan terbuka. Cahaya yang memisahkan aku dan dia, orang yang teramat ku cintai. Hasratku mengepung utuh. Ingin sekali ku ulurkan tanganku, berusaha menggapainya sekuat aku bisa. Berusaha mendapatkannya kembali, berusaha merapatkan tubuhku seperti menit-menit yang lalu, ketika Tuhan masih mengizinkanku membuka kedua mata. Kontras dengan detik ini, kurasakan, kuyakinkan, bahwa separuh jiwaku mati.
Aku berusaha mengingat bagaimana indahnya kunang-kunang di malam hari ketika aku bersamanya berbaring di bukit itu. Aku berusaha mengingat, bagaimana aku tidak sengaja mengenalnya. Membayangkan mata hitamnya yang dalam lurus menatapku, tatapan yang menuntut sesuatu, tatapan yang syarat akan kebimbangan, yang sesungguhnya dulu tidak ku ketahui apa itu. Aku mengingat betapa sulit menyelami isi dari mata itu, begitu dalam, nyaris tak berdasar. Membayangkan ketika ia melingkarkan cincin tolol ini di jari manisku, apapun alasannya … aku sungguh membenci terpaksa, dalam tanda kutip. Tetapi mereka meyakinkanku, bahwa ini bukanlah sebuah hasil dari kata ‘terpaksa’. Tetapi ini adalah hasil dari sebuah benda yang sering dipanggil ‘cinta’. indah … semua keindahan itu kini berkelebat di depan mataku. Disamping keindahan, kepahitan itu selalu ada, terbayang ketika malam itu … aku mengetahui segalanya terlalu cepat. Aku mengetahui sebuah fakta yang memang harus ku ketahui. Yang membuat air mataku berlinang. Membuatku sanggup berlari, meskipun aku akhirnya runtuh …
Tidak pernah terlintas dalam pemikiranku, aku dapat mengingat semuanya yang pernah terjadi dalam hidupku secara jelas dan senyata ini. Bukankah suatu bukti bahwa Tuhan begitu murah hati kepadaku ? Tuhan mengizinkan aku sedikit mengingatnya, dia yang sangat aku cintai. Hey tunggu !! apa yang menyebabkan aku terbaring disini ?? aku merasa banyak sekali potongan-potongan gambar berterbangan. Ingatanku seperti diaduk-aduk. Masa kecilku, ketika Mum memberiku teddy bear yang seingatku masih ada di kamarku, mungkin. Atau gambar dimana aku menangis tersedu-sedu di pemakaman umum dalam pelukan seorang wanita. Aku tidak mengenalinya, atau barang kali aku lupa. Gambar yang begitu jelas adalah ketika aku bersanding dengan Edo. Ia begitu jelas di ilusiku, aku sangat mencintainya …
Beberapa saat semua itu berputar-putar mengalahkan rasa sakit yang merata di tubuhku. Mengalahkan betapa terbakar dadaku, bahkan aku tak tahu apakah aku bernafas atau tidak. Dan tololnya, apakah ada yang mendengarkan pikiranku ? atau hanya sekedar aku yang tahu ?
Semuanya terdengar begitu kacau. Sebentar-sebentar aku merasa aku ini adalah gadis putih abu-abu, lalu dalam sekejap aku merasa aku ini adalah seorang ibu rumah tangga muda dan rapuh, dan aku ingat di dalam perutku ada makhluk … hem … aku menutup mataku lebih dalam. Menahan sakit yang masih saja menyiksaku. Inikah maut itu ?? yang sesungguhnya akan mendatangi semua orang ?? aku sakit. Tiba-tiba pemikiran itu muncul dengan gemilangnya. Tetapi sakit apa ?? bukankah selama ini Mummy menjagaku ?? ah bukan Mummy saja, Edo dan Arcissa.
Edo ?? dia adalah orang yang sangat aku cintai. Aku selalu ingat itu.
Mummy ?? adalah wanita terhebat di dunia ini.
Lalu Arcissa ?? siapa dia ?? kenapa namanya muncul dalam ingatanku ?? seolah-olah ia adalah bagian penting di hidupku. Lalu mengapa aku tidak mengingatnya ?? mengingat siapa dirinya ?? ah … kenyataan ini membuat aku semakin frustasi, ingin menjerit, tetapi rasanya tubuhku sudah cukup kesakitan. Parahnya aku merasa aku semakin menjauh, hingga seperti berada di atas awan.
Peduli apa dengan semua itu …
Aku hanya ingin mendekapnya satu, lalu menekankan bibirku sekali lagi ke bibir Edo, dan mengatakan “I love You” sampai aku tidak dapat mengatakannya lagi. Sampai suaraku tercekat, dan hawa sakit ini mencapai tenggoroanku.
Lalu aku ingin memeluk Mummy. Menangis di pelukannya yang selalu hangat untukku. Yang selalu menguatkanku. Kurasa hanya itu yang ingin kulakukan, ketika aku melihat bayangan mereka berpendar jauh. Dan aku merasa menangis dan sendiri lalu aku mengatupkan kelopak mataku lebih dalam … dalam diam, aku berusaha membisikkan beberapa penggal kata terakhirku, “Aku tak sanggup ...” dan aku mengingkarinya. Berusaha pergi dengan selayaknya ...


. . .


No comments:

Post a Comment