Saturday, September 21, 2013

to be end ? a while ?



mengakhirinya [part I]

malam ini bulan masih bersinar dengan mantap, angin masih bersemiliran menerbangkan tirai biru muda yang menggantung di kamarku. aku masih membatu di kursi krem menghadap ke jendela, tanganku masih lekat menggenggam ponselku dengan sisa tenagaku, kedua bola mataku mengarah pada layar ponsel di genggamanku.
"Ralia, kamu biarkan aku menangis demi dirinya ... "
aku tersenyum suram membacanya, aku membiarkannya menangis demi dirinya. dan ku biarkan dirinya pula menangis demi dirimu. lalu pertanyaannya, apa aku ini ? manusia atau apa ?
tak mau lagi aku percaya, pada semua kasih sayangmu.
tak mau lagi aku tersentuh, pada semua pengakuanmu.
kamu takkan mengerti rasa sakit ini, kebohongan dari mulut manismu.
pergilah kau, pergi dari hidupku, bawalah semua rasa bersalahmu.
pergilah kau pergi dari hidupku, bawalah rahasiamu yang tak ingin kutahui ...
tak mau lagi aku terjerat, pada semua janji-janjimu.
tak mau lagi aku terpaut, pada semua permainanmu.
kamu takkan mengerti, rasa sakit ini, kebohongan dari mulut manismu ...
bertahun-tahun bersama, kupercayaimu, kubanggakan kamu, kuberikan segalanya.
aku tak mau lagi, ku tak mau lagi ...
pergilah kau ... pergi dari hidupku ... bawalah semua rasa bersalahmu ... pergilah kau ...

tepat lagu itu terhenti, air mataku mengalir membasahi blus biru muda yang ku kenakan. tak sebegitu buruk lagu itu, memang benar. seharusnya aku pergi dan aku patut mendapatkannya. semburat wajah mereka ... yang membuat kepalaku terasa ngilu. hatiku mencelos, bagai ada peluru yang bertubi-tubi menembus jantungku.

"yasudahlah ..."

aku menyeka air mataku, mencoba bangkit mesti aku tau takkan bisa, tepatnya tidak pada menit ini, tidak pula pada detik ini. terlalu cepat.
tak selamanya aku bisa menyalahkan takdir ! mungkin memanglah aku hanya secuil pengecut kecil di dunia yang getir bagi yang tak dapat menikmati hidupnya. tuhan telah memposisikan aku dimana yang terbaik bagiku meski aku tak merasa demikian. aku merasa perbedaan antara aku dan dirinya terlalu tinggi untuk ku tumbangkan. mengapa sesuatu pada diriku tak pernah kau suka, dan meski kau mengingkarinya, aku tahu, kau tak menerimaku dengan apa adanya. begitupula aku. kau takkan menjadi sapi kecilku yang lugu, dan aku takkan pernah menjelma menjadi merpati yang cantik jelita dengan pita putih atau emas di kakinya. perbedaan. yang selama ini membuat kita sama-sama merasa tak dihargai bahkan merasa kita saling tak berharga sebagai manusia. kau buat aku bertanya ... mencari ... tentang rasa ini. aku tak pernah bisa setegas aku yang sebenarnya dalam hal ini. aku tak kuasa merasakan pahitnya kehilangan. sampai kapan bertahan seperti ini ? dia memang hanya bianglala bagiku. yang memberikan keindahannya ketika matahari dan basah hujan berpadu. lalu lenyap seketika tanpa bekas ketika aku mulai terpaku." aku memeluk diriku sendiri, melingkar menjadi satu. seperti akan hancur ... seperti akan menjadi abu yang akan berterbangan ... setidaknya itu akan menjadi yang lebih baik. aku ingin berlari ... sekali lagi aku ingin berlari ... tetapi hey !! aku bukan pengecut ... tapi yeah, aku brengsek. lebih brengsek dari yang kalian kira. sekali lagi aku tersenyum dalam tangisku. bayangan dirinya tersenyum masih membara di kepalaku, jenuh !! aku jenuh dengan semua ini ... aku jenuh dengan rasa yang teramat menyiksa. andai aku tak pernah bertemu denganmu. itu jelas bukan penyesalan, tapi pengandaian yang teramat kelewat tolol. bagaimana bisa aku melepaskanmu meski aku ingin ?? bagaimana bisa aku melakukannya dengan separuh hati yang tertinggal ?? dan aku sangat benci dengan pembagian, pengalian, penjumlahan, dan pengurangan. basic mengapa nilai matematikaku tak pernah membuatku merasa bangga atas diriku. aku beranjak menuju cermin yang tergantung bisu di sudut kamarku, aku melihat diriku lekat-lekat. rambutku kecokelatan memanjang terurai oleh semilir angin yang menelisip, alisku yang jarang, bibirku merah bergetar, pipi dan mataku basah dan sembab. ini aku, ini aku yang tak berkeputusan, batinku sakit. inilah wajah itu, wajah yang memikat mereka yang akhirnya pula akan kugunakan untuk menyakiti mereka. di dalam diri inilah tertanam jiwa yang sakit, jiwa yang mencintai mereka. jiwa yang tak pernah bisa memberikan kepastian. kapan ia tak akan menyakiti ...

"arghhh !!!" cermin itu pecah seketika, bayangan wajahku yang berkeping dengan cairan kental berbau khas yang mengalir dari jemari tanganku yang sebenarnya sangat tak berguna, namun dapat memecahkan cermin sialan ini, tepatnya aku ingin menghancurkan bayangan diriku dalam cermin yang mungkin menjadi korban. yeah. aku merasakan sakitnya, serpihan kaca itu mungkin masuk dalam tubuhku. perih. namun perih itu tak menandingi perih yang mengerogoti diriku, rasa bersalah yang tak terbayar oleh apapun ... aku teramat membenci ralia.

tanganku yang basah memerah berusaha beraih buku kenangan yang berdebu di atas bifet kamarku, perlahan aku membukanya. sapuan tanganku tepat membasahi foto ini, memerah. aku menitikkan air mata kembali. jatuh membasahi foto ini. dia sahabatku. aku mengenalnya saat aku masih kanak-kanak dan sebuah pensil pernah menjadi lambang persahabatan kita. pada saatnya semua ini akan terbuka, tak ada yang dapat aku sembunyikan lebih lama lagi. dan sungguh aku ingin berlalu pergi. andai aku bisa berpura-pura lupa atau tak tahu atau tepatnya menjadi pengecut, tapi aku tak bisa !! aku melihat senyumannya di potret beberapa tahun lalu. dan semuanya semakin mengiris hatiku. hatiku berlari menyusuri lorong gelap yang lembab. kau terlalu banyak membayar semuanya ... kau terlalu banyak kusakiti, kau terlalu indah untuk kembali kusakiti, hanya itu mungkin.

aku pun merasakan sakit yang sama ... aku pun merasa perih yang sama ... "aku masih seperti yang dulu ... " sekali lagi aku menekankuan 5 kata itu dalam dalam. sorot mataku masih menuntut. sorot mataku masih menggambarkan ketidakterimaan. dalam hening ini ku susuri dalam jiwaku yang kelam dan pekat. aku memang bukanlah matahari yang setia bersinar ketika pagi tiba. aku pula bukan basah air hujan yang setia mengguyurkan keteduhan di bumi yang gersang. aku hanya makhluk kecil disini, yang berdiri dengan memikul berat asa-asa.

ingin apa ? tak ada yang aku ingini sebesar ini, kecuali membayar luka-luka kalian semua. karena aku yang membuatnya. andai saja bisa. aku tak pernah ingin mendengar kalian menegluh sakit, aku tak pernah ingin kalian mencerca marah ... aku pula disini hancur, aku merasakan sakit yang sama. apabila bisa, aku ingin menanggungnya ... semuanya, andai bisa.

Aku masih berdiri disini merceca langit. Hitam pekat masih menggulung sunyi yang menelan keindahan sekitar … sementara ekor mataku masih berusaha berlari dari masa ini. Masih berusaha berlari mengejar mimpi yang dulu pernah ku ukir dengan sejuta bahagia yang selalu membasahi hari-hariku … aku memasung bayangku sendiri dalam kelam yang kini mengubangi ragaku. Menahan sesuatu yang hendak lepas dan terbang mengejar kebahagiaan yang dulu pernah kurengkuh. Aku memeluknya erat erat, hatiku. Jangan pernah pergi. Jangan lagi selalu terbayang oleh keindahan masa lalu. Masa itu telah berakhir. Dan tak ada satupun di dunia ini yang bisa memutar ulang waktu. Tak ada. Sulit sekali sekedar menerapkan teori sederhana tentang perputaran waktu. Tentang waktu yang memang tak pernah berhenti. Meski sedetik. Hidupku masih berjalan dan belum berakhir, sekali lagi aku berusaha memelesakkan kalimat itu kedalam hatiku. Susah payah aku berusaha menghentikan semua ini. aku masih harus menyelesaikan keonaran yang ku buat ... dan aku takkan pernah bisa berlari sebelum aku mengakhirinya ...
aku mengukuh semua ini hanya dengan isak tangis dan tetesan darah tak berarti. berikan aku jalan keluar Tuhan ... kuyakin Kau tahu ... aku tak pernah mengetahui apa mauku dan aku tak mau tahu ... ini hanya sebagian, dari sekian yang berserakan ....
aku melompat dari jendela kamarku yang ada di lantai dua, mungkin ini bukan pengakhiran, tetapi jalan pintas untuk mematikan rasa sakit sementara.

written by amelia.
Friday, July, 30th, 2010 at 4.52 p.m.

No comments:

Post a Comment